Surabaya Diuji: Lindungi Lansia atau Biarkan Kekerasan Menjadi Biasa

1001283930

Surabaya |
Surabaya kembali diguncang oleh sebuah peristiwa yang membuat kata kemanusiaan terdengar seperti lelucon pahit. Di tengah gegap gempita pembangunan kota, seorang perempuan renta berusia 80 tahun justru diduga diperlakukan layaknya tidak memiliki hak hidup. Elina Widjajanti (80), warga Dukuh Kuwukan, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, diduga menjadi korban persekusi keji, pengusiran paksa, serta perusakan rumah yang selama puluhan tahun menjadi satu-satunya tempat ia berlindung di usia senja. Tragedi ini bukan sekadar konflik lahan—ini adalah potret telanjang dari kekerasan yang menyasar mereka yang paling lemah.

 

Di usia yang seharusnya diisi dengan doa dan ketenangan, Nenek Elina justru diduga dihadapkan pada intimidasi, tekanan psikologis, dan tindakan brutal yang membuat publik bertanya: masihkah hukum berpihak pada rakyat kecil? Rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya diduga dirusak tanpa empati, seolah keberadaan seorang lansia tak lebih berharga dari sekeping kertas sengketa.

Peristiwa ini sontak memicu gelombang kemarahan publik. Banyak pihak menilai kasus ini sebagai tamparan keras bagi wajah keadilan di Surabaya. Salah satu kecaman paling keras datang dari organisasi Madura Nusantara. Sekretaris Jenderalnya, Sulaiman Darwis, menyampaikan pernyataan yang bukan sekadar keprihatinan, melainkan seruan moral terhadap apa yang ia sebut sebagai kegagalan nurani kolektif.

“Ini bukan konflik biasa. Ini adalah tragedi kemanusiaan. Seorang nenek berusia 80 tahun diduga dipersekusi, diusir, dan rumahnya dirusak. Jika ini dibiarkan, maka kita sedang menyaksikan kematian rasa keadilan secara perlahan,” tegas Sulaiman Darwis, Jumat (26/12/2025) malam.

Menurutnya, persekusi terhadap lansia adalah bentuk kekerasan sosial yang paling memalukan. Ia menilai, tindakan tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menginjak-injak nilai moral dan kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.

“Lansia adalah kelompok paling rentan. Jika mereka saja bisa diperlakukan seperti ini, maka tidak ada satu pun warga Surabaya yang benar-benar aman. Hari ini nenek Elina, besok bisa siapa saja,” ujarnya dengan nada keras.

Sulaiman Darwis menegaskan bahwa kasus ini telah melampaui batas toleransi publik. Ia menyebut, penanganan yang lamban justru memperkuat dugaan bahwa hukum bisa tumpul ke bawah dan tajam ke atas. Ketika korban adalah seorang nenek tanpa kuasa, keadilan seolah berjalan terseok-seok, bahkan nyaris tersungkur.

Secara terbuka dan tanpa basa-basi, ia mendesak Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nanang Avianto untuk segera mengambil alih atensi penuh terhadap kasus ini. Nama Samuel disebut-sebut sebagai aktor utama yang diduga terlibat dalam perusakan rumah dan persekusi terhadap Nenek Elina, bersama pihak-pihak lain yang juga diduga turut berperan.

“Jangan biarkan hukum menjadi bahan ejekan publik. Tangkap dan periksa semua pihak yang terlibat. Kepastian hukum adalah harga mati. Jika aparat ragu bertindak, maka yang runtuh bukan hanya kepercayaan masyarakat, tetapi wibawa negara,” tegasnya.

Ia mengingatkan, ketidakjelasan penegakan hukum hanya akan memperbesar potensi konflik sosial dan membuka luka lama yang bisa menjalar menjadi persoalan horizontal. Menurutnya, aparat kepolisian kini berada di persimpangan sejarah: menjadi pelindung rakyat, atau menjadi saksi bisu ketidakadilan.

Meski demikian, di tengah bara kemarahan yang membakar emosi publik, Sulaiman Darwis tetap mengimbau seluruh keluarga besar Madura Nusantara agar menahan diri dan tidak terjebak provokasi. Ia menegaskan bahwa keberanian melawan ketidakadilan harus dibingkai dengan kedewasaan dan tanggung jawab moral.

“Kami memegang teguh filosofi ‘Madura Darahku, Surabaya Jiwaku’. Artinya, kami mencintai Surabaya, dan justru karena cinta itulah kami tidak akan diam melihat kezaliman,” katanya.

Ia menekankan bahwa konflik ini tidak boleh dibiarkan berubah menjadi gesekan antar kelompok masyarakat atau suku. Namun, ia juga mengingatkan bahwa menahan diri bukan berarti membiarkan ketidakadilan mengakar dan menjadi kebiasaan.

“Diam terhadap ketidakadilan adalah bentuk persetujuan paling berbahaya,” ujarnya tajam.

Dalam penutup pernyataannya, Sulaiman Darwis menegaskan bahwa martabat sebuah kota tidak diukur dari megahnya bangunan atau prestasi seremonial, melainkan dari keberanian aparat penegak hukum dalam melindungi warga yang paling lemah.

“Kasus Nenek Elina adalah alarm darurat. Jika seorang nenek bisa dipersekusi dan rumahnya dirusak tanpa kepastian hukum, maka Surabaya sedang berada di tepi jurang krisis kemanusiaan. Aparat harus memilih: berpihak pada keadilan, atau membiarkan sejarah mencatat kegagalan mereka,” pungkasnya.

Leave a Reply