Siswahyu Kurniawan Nilai Penting Akad Cakada – Cawakada, Untuk Minimalkan Konflik Seperti Sidoarjo

Img 20251130 wa0257

SURABAYA.KMP| Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk Pemilihan Gubernur (Pilgub), Pemilihan Walikota (Pilwali), dan Pemilihan Bupati (Pilbup) memang Hari H Coblosannya telah dilaksanakan pada tahun lalu, 27 November 2024, dan para Kepala Daerah (Kada) – Wakil Kepala Daerah (Wakada) terpilih telah dilantik secara serentak oleh Presiden Ke-8 RI, Jenderal TNI HOR (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo (PSD) pada tanggal 20 Februari 2025. Tinggallah kenangan, ‘HUT’ Coblosan tanggal 27 November, dan ‘HUT’ Pelantikan 20 Februari. Akankah diperingati, misal dengan mengingat tujuan maju Pilkada dan janji-janji kampanye?

Yang jelas, saat maju Pilkada, tentu harus ada wakilnya. Yang itu berarti pula bahwa wakil bukanlah jangkep-jangkepan, bukanlah pelengkap.

Jika Cakada ingin ‘uji – nyali’ cobalah ngotot bahwa bisa maju Pilkada tanpa Cawakada. Apa bisa?

Img 20251130 wa0258

********

Paling cepat, enam (6) bulan setelah pelantikan Kada – Wakada, barulah boleh melakukan mutasi para pejabat di pemerintah daerahnya (pemda).

Ternyata proses memutasi itu diantaranya sekaligus bisa menjadi salah satu awal konflik yang mencuat ke permukaan antara Kada dan Wakada termasuk terjadi di sejumlah Kabupaten / Kota di Jawa Timur. Bisa saja ketika proses menjadi Cakada – Cawakada, ada perjanjian tentang hal tersebut? Atau kesepakatan tidak tertulis?

Diawali oleh Mimik Idayana (Bunda Mimik), perempuan kelahiran Lumajang 28 Februari 1971 yang menjadi Wakil Bupati (Wabup) Sidoarjo, wakil dari Subandi.

Ketua DPC Gerindra Sidoarjo yang istri dari H. Rahmat Muhajirin (anggota DPR RI 2019 – 2024) itu mempersoalkan mutasi oleh Bupati Subandi pada hari Rabu 17 September 2025 yang tanpa melibatkan dirinya.

Img 20251130 wa0259

Dikatakannya, bahwa sebelumnya telah disepakati mutasi hanya mengisi 31 yang lowong di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD), akan tetapi pada pelaksanaannya membengkak menjadi 61 posisi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) tersebut. Mimik merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, sementara dirinya merupakan pengarah dari Tim Penilai Kerja (TPK).

Mimik pun telah melayangkan laporan resmi ke Menteri Dalam Negeri (Kementerian Dalam Negeri / Kemendagri) pada Rabu 24 September 2025. Ia merasa tidak dilibatkan dalam keputusan mutasi 61 ASN oleh Bupati Subandi. Laporan bernomor 000.6.3.4/11268/438.1/2025, tersebut berisi tuntutan Mimik agar Kemendagri mengevaluasi Bupati Subandi. Mutasi melebihi kesepakatan awal yang hanya untuk 31 jabatan kosong. Proses pelantikan disebut tidak melalui konsultasi maupun koordinasi resmi dengannya.

Padahal ketika maju Pilbup 27 2024, mereka diusung oleh kursi ‘minoritas’ di DPRD Sidoarjo dengan enam belas (16) kursi dari 50 kursi yang ada yaitu Gerindra (9 kursi), Golkar (5), Demokrat (2), Hanura, Buruh, PKN, Garuda, Perindo dan Ummat.

Sedangkan lawannya Cabup Achmad Amir Aslichin – Cawabup Edi Widodo dengan 34 kursi yaitu PKB (15 kursi), PDI-P (9), PAN (4), NasDem (2), PPP (1), PKS (3), PSI, PBB, Gelora.

*********

Konflik, kekisruhan lain, terjadi di Kota Blitar, antara Wakil Walikota Elim Tyu Samba versus Walikota Syauqul Muhibbin (Mas Ibin). Inti persoalannya kurang – lebih sama dengan Sidoarjo. Juga sama dalam hal ini: wakilnya sama-sama perempuan dan kebetulan sama-sama dari Partai Gerindra.

Elim Tyu Samba, wanita cantik kelahiran Blitar 30 Desember 1995 itu merasa kali ini kesabarannya tidak perlu dibendung lagi. Sebab, bukan soal mutasi saja pihaknya tidak dilibatkan dalam proses dari awal. Namun dalam hal pembahasan anggaran pun dirinya tidak dilibatkan. Hingga dirasa perlu seperti yang dilakukan Wabup Sidoarjo: lapor ke Kemendagri.

Pada masa lalu, periode 2018 – 2023, meskipun tidak ‘diumbar’ ke media, pernah terjadi konflik antara Walikota Mojokerto ketika itu, Ika Puspitasari versus Wakil Walikota (Wawali) Ahmad Rizal Zakaria. Persoalan hampir sama: tidak dilibatkan dalam proses-proses penting pengambilan keputusan. Memang Rizal tidak mengumbarnya ke media, namun banyak yang tahu persoalan itu. Soal ‘porsi’ pelibatan dalam proses pengambilan keputusan.

Padahal Ika Puspitasari saat maju Pilwali Mojokerto 2018 merupakan non-partisan, non-parpol, yang kemudian diusung oleh Partai Gerindra dan Partai Golkar dengan modal enam (6) kursi diantara 25 kursi yang ada. Sedangkan Rizal merupakan Ketua DPC Partai Gerindra Kota Mojokerto.

Konflik ketika itu seperti api dalam sekam. Kemudian, Ahmad Rizal Zakaria meninggal dunia pada hari Jumat 8 Oktober 2021.

Barangkali konflik yang mendalam? Jajaran DPC Gerindra Kota Mojokerto pun geram. Lebih-lebih Ika Puspitasari tidak mengisi kekosongan posisi Wakil Walikota Mojokerto itu hingga akhir jabatannya pada periode ke-1 tersebut.

Kini, Ika Puspitasari terpilih lagi menjadi Walikota Mojokerto untuk periode 2025 – 2030. Akankah Wakil Walikota Mojokerto saat ini Rachman Sidharta Sandi (Cak Sandi) juga tidak akan diberi ‘porsi’ yang jelas seperti Rizal?

Cak Sandi, pria kelahiran Bojonegoro 30 Maret 1983, yang berangkat dari sebagai Rektor Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto, minim pengalaman politik dan dikenal lebih kalem daripada Rizal. Mungkin cuek saja?

Adakah janji-janji politik saat kampanye bahwa jika terpilih akan bersama-sama menjalankan pemerintahan antara Cakada dan Cawakada?

Lebih-lebih untuk Ika Puspitasari yang menjabat dua periode, harusnya lebih terbuka memberi kesempatan proses ‘transisi’ ke depan untuk wakilnya.

Begitu pula untuk daerah-daerah lain yang sudah dua periode. Misal Bupati Kediri. Hanindhito Himawan Pramana (Mas Dhito. Pria kelahiran Yogyakarta 31 Juli 1992) itu menjadi Bupati Kediri periode 2021 – 2025 dan 2025 – 2030, dan sewajarnya memberi ‘transisi’ kepada Dewi Mariya Ulfa selaku Wakil Bupati. Apalagi Dewi Mariya Ulfa yang kelahiran Kediri 1 September 1980 juga sudah dua kali menjadi Wabup untuk Mas Dhito. Tentu kematangannya kian memadai, ditunjang pengalaman organisasi saat di Fatayat NU dan PC ISNU Kabupaten Kediri.

Juga Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani (Gus Yani) yang kelahiran Gresik 28 Juni 1985, dan dua periode menjadi Bupati Gresik, perlu ‘transisi’ kepada Wakil Bupati, dokter Asluchul Alif. Kebetulan pula, dr. H. Asluchul Alif, M.Kes., M.M., M.H.P. yang kelahiran Gresik 29 Juni 1980 adalah juga Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Gresik.

*********

Begitupun Bupati Lamongan Yuhronur Efendi yang dua periode menjabat. Pak Yes yang kelahiran Lamongan 12 Januari 1968 harusnya lebih memberi ‘transisi’ kepada Wabupnya yang masih sangat muda, Dirham Akbar Aksara (Dirham Aksara) yang kelahiran Surabaya 2 Oktober 1995, putra dari Wahid Wahyudi yang mantan Kadispendik Jatim dan Kadishub Jatim.

Dirham Aksara yang sebelumnya dari kalangan profesional dan non-parpol, kemudian setelah Pilbup ada proses penjaringan Calon Ketua DPC PDIP Lamongan yang dilakukan oleh 27 pengurus PAC (tingkat Kecamatan), diantaranya termasuk Dirham Aksara.

Anak muda perlu diberi kesempatan? Apalagi di Lamongan masih sangat banyak problem. Bahkan soal desa-desa yang kekeringan dan kekurangan air bersih saat kemarau, kian tahun kian bertambah banyak, dan belum ada solusi yang memadai dan komprehensif. Padahal termasuk kebutuhan dasar.

Meskipun ada daerah-daerah yang justru Kada dan Wakada sama-sama baru akan tetapi relatif bisa saling bersama.

Misal Walikota Malang Wahyu Hidayat dan Wakil Walikota Ali Muthohirin IMM. Wahyu Hidayat yang kelahiran Malang 17 Desember 1966 dan Ali Muthohirin yang kelahiran Gresik 14 September 1986 relatif bersinergi termasuk ketika Kota Malang bersama Kota Batu dan Kabupaten Malang, sukses menjadi tuan rumah Porprov Jatim 2025 beberapa waktu lalu.

Wahyu Hidayat dari Gerindra dan Ali Muthohirin PSI.

Meskipun Wawali, Ali Muthohirin dikenal memiliki segudang pengalaman berorganisasi yang menjadikannya matang. Diawali dengan bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sejak tahun 2006. Bahkan alumnus Unmuh Malang (UMM) itu pernah menjabat Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah / IMM (2016–2018), dan Wakil Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (2018–2022).

Yang baru dan relatif bersama juga ada Bupati Bojonegoro Setyo Wahono dan Wakil Bupati Bojonegoro Nurul Azizah. Bupati kelahiran Bojonegoro kelahiran Bojonegoro 8 Mei 1972 dan Wakil Bupati kelahiran Bojonegoro 5 April 1969 itu saat maju Pilkada diusung koalisi besar Koalisi Bojonegoro Maju yakni Gerindra, Demokrat, PPP, PBB, Golkar, PSI, PAN, PKS, NasDem, Gelora, Buruh, Hanura, Ummat, dan PKB.

Kemudian Walikota Batu Nurochman / Cak Nur dan Wakil Walikota Batu Heli Suyanto. Walikota kelahiran Malang 7 Maret 1969 yang dari PKB dan Wakil Walikota kelahiran Malang 29 Juni 1980 yang juga Ketua DPC Partai Gerindra Kota Batu.

Tapi dari semua itu, di Jawa Timur, hampir belum ada Kepala Daerah / Kada (apalagi Wakil Kepala Daerah / Wakada) yang membuat terobosan riil untuk kepentingan rakyat. Yang banyak, masih mewarisi ‘politik’ anggaran masa lalu, sebelum masa Presiden Ke-8 RI Jenderal H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo (PSD).

Di Jatim, masih hampir belum ada yang benar-benar membuat terobosan riil seperti Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM). Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, yang itu berarti rakyat harus diutamakan, dan nyaman. Gubernur Jabar kelahiran Subang Jawa Barat (11 April 1971) itu ikhtiar terus mengamalkan pemahaman itu. Bukan dengan gimick. Transparansi via medsos.

Mungkin di Jawa Timur yang masih agak ‘lumayan’ dan komunikatif dengan rakyat serta ikhtiar permudah selesaikan permasalahan rakyat adalah Armuji (Cak Ji) Wakil Walikota (Wawali) Surabaya diantaranya melalui Rumah Aspirasi Cak Ji yang juga ada youtube dan sejenisnya seperti yang dilakukan Gubernur Jabar Kang Dedi Mulyadi / KDM. Cak Ji pria kelahiran Surabaya 8 Juni 1965 itu intensif dan kreatif turun ke bawah, dan Sang Walikota Eri Cahyadi memahami. Tidak sok kuasa. Mengingat pada saat maju Pilkada, harus berpasangan Cakada – Cawakada. Pendapat Anda? Sms atau WA kesini= 081216271926 / 081215754186 (Siswahyu).

Leave a Reply