MAKI Jatim Dorong Akuntabilitas Pengadaan Gerobak UMKM di Kabupaten Jember: Tegaskan Perlunya Transparansi HPS untuk Cegah Potensi Mark Up
Surabaya, 6 November 2025 — Koran Merah Putih Isu transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran publik kembali menjadi sorotan setelah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jawa Timur menemukan adanya dugaan ketidakwajaran dalam penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) pengadaan display atau gerobak usaha mikro oleh Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kabupaten Jember untuk tahun anggaran 2025.
Berdasarkan data yang tercantum dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) LKPP, tercatat nilai anggaran sebesar Rp12,5 miliar untuk pengadaan 2.500 unit gerobak, yang berarti setiap unitnya bernilai Rp5 juta. Angka tersebut dinilai jauh melampaui harga pasar yang sesungguhnya, dan berpotensi menimbulkan indikasi mark up sejak tahap perencanaan awal.
Program ini sejatinya merupakan upaya pemerintah daerah untuk memperkuat sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Pedagang Kaki Lima (PKL) di wilayah Jember melalui dukungan sarana usaha. Namun, MAKI Jatim menilai bahwa penetapan nilai HPS yang tidak proporsional justru berpotensi mencederai tujuan mulia program tersebut.
Temuan Awal MAKI: Harga Pasar Tak Sejalan dengan HPS Resmi
Tim Litbang dan Investigasi MAKI Jawa Timur serta Jember melakukan kajian lapangan dan survei harga pembanding melalui berbagai platform belanja daring (marketplace nasional). Hasil kajian menunjukkan bahwa harga rata-rata gerobak usaha di pasaran berkisar antara Rp2,3 juta hingga Rp2,8 juta per unit, tergantung model dan bahan bakunya.
Perbandingan ini menunjukkan adanya selisih harga signifikan terhadap nilai HPS Rp5 juta per unit sebagaimana tercantum dalam dokumen SIRUP. Selisih hampir dua kali lipat tersebut dinilai sebagai indikasi awal penggelembungan harga yang patut dikaji secara mendalam.
> “Jika harga pasaran rata-rata hanya dua sampai dua koma delapan juta rupiah, sementara HPS ditetapkan lima juta per unit, maka wajar jika publik mempertanyakan dasar penetapan tersebut. Kami melihat ini sebagai potensi mark up dari hulu,” ujar Heru MAKI, Koordinator Wilayah MAKI Provinsi Jawa Timur, di Surabaya.
Pertanyakan Dasar Penetapan HPS oleh Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Jember
MAKI Jatim menegaskan bahwa dalam penyusunan HPS, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) wajib melakukan survei harga pembanding secara komprehensif dan berbasis data pasar. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta perubahan-perubahannya.
> “Dasar perhitungan HPS seharusnya diambil dari data pasar aktual, baik dari e-katalog, survei penyedia lokal, maupun referensi harga online yang bisa diakses publik. Pertanyaan kami, dari mana data Rp5 juta per unit itu berasal? Apakah ada kajian formal yang bisa dipertanggungjawabkan?” tegas Heru MAKI.
Lebih jauh, Heru menilai bahwa penyimpangan dalam tahap perencanaan merupakan akar dari berbagai pelanggaran dalam proses pengadaan. Ketika perencanaan awal tidak berbasis data riil, maka seluruh proses berikutnya — mulai dari pemilihan penyedia, penandatanganan kontrak, hingga distribusi barang — berpotensi menyalahi prinsip efisiensi dan akuntabilitas keuangan negara.
> “Jika perencanaan di hulu sudah bermasalah, maka hasil di hilir, seperti tender dan pelaksanaan proyek, juga bisa dianggap cacat secara hukum,” tambahnya.
MAKI Bentuk Tim Pemantau dan Siap Kawal Distribusi Barang
Sebagai langkah konkret, MAKI Jatim bersama MAKI Jember telah membentuk Tim Litbang Investigasi untuk melakukan pengawasan langsung terhadap pelaksanaan pengadaan dan distribusi 2.500 unit gerobak tersebut. Tim ini ditugaskan untuk memverifikasi kesesuaian harga, kualitas, dan spesifikasi fisik barang yang akan diterima para pelaku UMKM di lapangan.
> “Kami sudah menandatangani surat tugas untuk tim Litbang agar melakukan audit pembanding harga dan pengawasan lapangan. Jika nanti ditemukan ketidaksesuaian atau bukti mark up, kami siap membawa kasus ini ke ranah hukum, baik ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur maupun Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri,” ujar Heru MAKI dengan tegas.
MAKI menegaskan bahwa langkah ini bukan bentuk penolakan terhadap program pemberdayaan UMKM, melainkan bagian dari upaya menjaga integritas dan efisiensi penggunaan keuangan negara.
Pengadaan Barang Pemerintah Harus Menjadi Contoh Tata Kelola Baik
MAKI Jatim mengingatkan bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu sektor paling rawan terhadap penyimpangan, terutama ketika pengawasan publik lemah. Oleh karena itu, penetapan HPS yang transparan, berbasis riset pasar, dan dapat diverifikasi menjadi kunci untuk mencegah kebocoran anggaran.
> “Kami sepenuhnya mendukung program bantuan pemerintah untuk pelaku usaha mikro. Namun, setiap rupiah dari uang rakyat harus dipertanggungjawabkan dan digunakan dengan prinsip efisiensi, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” kata Heru.
MAKI juga menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam memantau pelaksanaan program pemerintah daerah agar tidak terjadi penyimpangan, baik dalam bentuk mark up harga, pengadaan fiktif, maupun penyelewengan barang bantuan.
Peringatan Keras bagi Pengelola Anggaran Daerah
Kasus dugaan ketidakwajaran penetapan HPS di Kabupaten Jember menjadi pengingat bagi seluruh pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen (PPK) di lingkungan pemerintah daerah agar lebih cermat dalam menyusun rencana kegiatan.
Keterbukaan terhadap data publik, pelibatan pengawasan eksternal, dan audit independen harus dijadikan praktik standar dalam setiap tahapan perencanaan dan pelaksanaan proyek.
> “Pengelolaan keuangan negara bukan sekadar formalitas administratif, tetapi amanah moral dan hukum. Jika ditemukan bukti kuat adanya penyimpangan, kami akan pastikan penegakan hukum berjalan tanpa pandang bulu,” pungkas Heru MAKI.
Seruan untuk Pemerintahan yang Transparan dan Berintegritas
Kasus pengadaan gerobak di Jember menjadi refleksi penting bagi seluruh aparatur pemerintah bahwa transparansi bukan sekadar slogan, tetapi kewajiban hukum dan moral. Dengan pengawasan publik yang aktif, pelibatan lembaga independen seperti MAKI, dan keterbukaan data oleh pemerintah daerah, maka tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi dapat diwujudkan secara nyata.Pungkas” Heru (Red)

