Skandal Panas di Gresik! Tanah Kas Desa Kepuhklagen Diduga Digali dan Diperjualbelikan : Mafia Galian C Bermain di Atas Aset Negara

Img 20251021 wa0018

Skandal Panas di Gresik! Tanah Kas Desa Kepuhklagen Diduga Digali dan Diperjualbelikan : Mafia Galian C Bermain di Atas Aset Negara

Gresik – Media Investigasi Nasional
Aroma busuk praktik eksploitasi sumber daya desa kembali menyeruak dari tanah pertiwi. Kali ini, sorotan tajam publik tertuju pada Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, di mana Tanah Kas Desa (TKD) yang seharusnya menjadi aset dan sumber kemakmuran warga, justru diduga digali, dijual, dan dikomersialkan secara ilegal oleh pihak-pihak yang diduga kuat berkolaborasi dengan jaringan mafia galian C.

Tim investigasi media bersama LSM turun langsung ke lokasi pada Senin, 21 Oktober 2025. Di lapangan, mereka menyaksikan pemandangan yang mencengangkan, lahan desa yang seharusnya hijau dan produktif kini berubah menjadi kubangan besar penuh luka tanah, bekas galian yang menganga seperti luka terbuka di tubuh bumi.

Beberapa dump truk tampak lalu lalang tanpa penutup terpal, membawa muatan tanah yang disebut-sebut berasal dari Tanah Kas Desa Kepuhklagen. Salah satu pekerja lapangan, yang dikenal sebagai “ceker” galian, tanpa ragu mengakui,

“Ini tanah kas desa mas. Dijual ke desa lain sama warga, harganya sekitar seratus tujuh puluh ribu per truk,”
ujarnya santai, seolah memperjualbelikan aset negara adalah hal lumrah sehari-hari.

Padahal, berdasarkan regulasi, tanah kas desa tidak boleh dialihfungsikan apalagi dijual tanpa izin resmi dari Pemerintah Kabupaten dan persetujuan Gubernur. Namun di Kepuhklagen, hukum seolah mati suri, ditelan kerakusan.

Tim investigasi kemudian melanjutkan langkah ke Kantor Desa Kepuhklagen sekitar pukul 09.00 WIB. Namun, yang ditemui hanyalah kantor desa yang sunyi bak rumah hantu. Pintu terkunci, meja kursi berdebu, dan yang tersisa hanyalah barisan motor terparkir tanpa pemilik.
Kades Edi Suparno, yang seharusnya menjadi ujung tombak pengelolaan aset desa, tidak berada di tempat. Bahkan ketika tim menyambangi kediamannya, rumah sang kades pun tertutup rapat tanpa tanda kehidupan.

Tidak berhenti di situ, tim mencoba menghubungi Sekretaris Desa Hatta melalui panggilan telepon dan pesan WhatsApp, namun nihil tanggapan. Semua seolah bungkam. Diam yang terlalu kompak itu justru menimbulkan tanda tanya besar, ada apa sebenarnya di Kepuhklagen ?

Secara hukum, aktivitas penggalian tanah tanpa izin merupakan pelanggaran berat yang masuk kategori pertambangan tanpa izin (ilegal mining) sebagaimana diatur dalam, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158, “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP) dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.”

Selain itu, aktivitas penggalian tersebut juga berpotensi melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena dapat menimbulkan kerusakan ekosistem, erosi, dan pencemaran tanah yang parah.

Lebih memprihatinkan lagi, Tanah Kas Desa (TKD) adalah bagian dari kekayaan desa yang dijaga oleh hukum. Berdasarkan Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 Pasal 1 angka 10, TKD merupakan barang milik desa dan tidak boleh dialihkan kepemilikannya tanpa izin. Artinya, setiap bentuk penggalian dan penjualan tanah TKD adalah tindakan ilegal dan termasuk kategori penyalahgunaan aset negara.

Namun, di Kepuhklagen, aturan itu seakan menjadi pajangan belaka. Tanah yang seharusnya untuk kepentingan rakyat justru berubah menjadi mesin uang untuk segelintir orang. Ironisnya, ketika publik mempertanyakan, para pejabat desa justru memilih bersembunyi di balik pintu tertutup.

sejumlah aktivis masyarakat yang kebetulan ketemu di warung kopi menilai bahwa kasus ini tidak bisa dibiarkan. “Ini jelas bentuk perampokan aset desa secara terang-terangan. Negara harus turun tangan. Aparat penegak hukum wajib memeriksa kepala desa dan seluruh pihak yang terlibat dalam praktik galian ilegal ini,” tegas salah satu perwakilan LSM di lokasi.

Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin tanah kas desa lainnya di Kabupaten Gresik akan menjadi korban berikutnya. Mafia galian akan terus berpesta pora di atas penderitaan rakyat, sementara desa kehilangan hak dan asetnya secara perlahan.

Masyarakat Kepuhklagen kini menanti keberanian aparat penegak hukum, baik Polres Gresik, Kejaksaan Negeri, hingga Inspektorat Kabupaten, untuk turun ke lapangan dan menindak tegas siapapun yang terlibat. Bukan hanya pelaku lapangan, tetapi juga oknum pejabat desa yang berkolaborasi diam-diam dengan para mafia galian.

Skandal ini adalah potret kecil dari rusaknya tata kelola aset desa di negeri ini. Dan Kepuhklagen telah menjadi simbol betapa hukum bisa lumpuh ketika berhadapan dengan nafsu uang dan kekuasaan.

Redaksi Koran Merah Putih menegaskan: hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemerintah Desa Kepuhklagen dan Kepala Desa Edi Suparno belum memberikan tanggapan resmi meski telah dihubungi berulang kali.

Kasus ini akan terus kami pantau. Sampai tanah desa dikembalikan pada rakyat, dan para pelakunya mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.

Leave a Reply