Firma Hukum ELTS Akan Laporkan Kasus Debt Kolektor Intimidasi Pasutri Warga Medali Ke Polda Jatim

Img 20250913 wa0192

MOJOKERTOKMP | Kasus dugaan teror dan perampasan kemerdekaan yang menimpa pasangan suami istri Heris Choiruman dan Anjiroh Mufidah, warga Desa Medali, Kecamatan Puri, Mojokerto, kembali memicu kemarahan publik. Peristiwa yang viral di media sosial ini kini ditangani secara serius oleh Firma Hukum ELTS yang bertindak sebagai penasehat hukum korban.

ELTS menilai insiden ini bukan sekadar persoalan wanprestasi atau utang-piutang, tetapi tindak pidana serius yang mencoreng wajah penegakan hukum di Mojokerto.

Ini murni kriminal, bukan urusan perdata!” tegas Agus Sholahuddin, Ketua Firma Hukum ELTS.

Kronologi Mencekam: Rumah Digedor, Diseret, dan Dipaksa Tanda Tangan

Berdasarkan keterangan korban, pada 9 September 2025 sekitar lima orang mendatangi rumah Heris saat ia sedang bekerja.

Mereka mendorong pintu rumah, membentak istri Heris yang menggendong balita, dan memaksa Anjiroh menjemput suaminya.

Heris dibawa paksa menggunakan mobil, ponselnya disita, dan ia dilarang menghubungi siapa pun.

Alih-alih dibawa ke kantor polisi, korban justru digiring ke kantor BFI Finance Mojokerto, diinterogasi, dibentak, dan dipaksa menandatangani dokumen yang tidak jelas.

Setelah itu, korban dibawa ke Polresta Mojokerto, namun justru kembali diinterogasi dan diancam soal mobil yang menjadi objek sengketa.

ELTS menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran serius hak asasi manusia.

Unsur Pidana yang Dipenuhi

Agus Sholahuddin, Ketua Firma Hukum ELTS, menegaskan kasus ini telah memenuhi unsur multiple tindak pidana:

1. Perampasan Kemerdekaan (Pasal 333 KUHP – ancaman 8 tahun penjara);

“Tindakan membawa paksa korban dan keluarganya dengan menyita HP dan melarang komunikasi jelas merupakan perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Ancaman pidananya penjara maksimal 8 tahun”.

2. Pemerasan (Pasal 368 KUHP – ancaman 9 tahun penjara);

“Seluruh tindakan ancaman dan intimidasi dilakukan dengan tujuan untuk memaksa korban memberikan informasi dan menandatangani dokumen yang menguntungkan pihak pemeras (dalam hal ini, finance). Tanda tangan yang diperoleh melalui paksaan adalah batal demi hukum. Ancaman pidananya penjara maksimal 9 tahun”.

3. Pemaksaan & Intimidasi (Pasal 335 KUHP);

“Unsur “memaksa seseorang dengan ancaman” telah terpenuhi dengan jelas melalui bentakan, teriakan, dan situasi intimidatif yang diciptakan, terutama di hadapan anak balita”.

4. Penganiayaan Psikis (Pasal 351 KUHP);

“Penganiayaan tidak hanya fisik tetapi juga mental. Meneror seorang ibu dengan anak kecil dan menciptakan situasi traumatis merupakan bentuk penganiayaan ringan”.

5. Pasal 378 jo. Pasal 242 KUHP tentang Penipuan dan Penyamaran;

“Dengan membawa korban atas dalih “dibawa ke Polresta Mojokerto”, pelaku telah menipu korban dan menyamar seolah-olah memiliki kewenangan seperti aparat penegak hukum”.

 

“Semua tanda tangan yang diperoleh melalui paksaan adalah batal demi hukum. Ada unsur kekerasan, intimidasi, dan penipuan,” tegas Agus.

Sorotan pada BFI Finance dan Oknum Aparat

Agus menilai BFI Finance tidak bisa lepas tangan, karena debt collector bertindak atas kuasa mereka.

Selain itu, dugaan pembiaran oleh oknum aparat Polresta Mojokerto menjadi perhatian serius.

Tugas polisi melindungi rakyat, bukan membiarkan intimidasi terjadi di markas mereka sendiri. Propam Polri harus turun tangan,” kata Agus.

Firma Hukum ELTS juga menegaskan tindakan debt collector ini melanggar POJK No. 35/POJK.05/2018 tentang tata cara penagihan yang beretika.

Langkah Hukum yang Ditempuh

Firma Hukum ELTS mengambil empat langkah strategis:

1. Melaporkan kasus ini ke Polres Kabupaten Mojokerto dan Polda Jatim.

2. Mendesak Kapolres Kota Mojokerto menindak tegas pelaku dan memeriksa oknum aparat yang diduga terlibat.

3. Mengajukan laporan ke OJK untuk memberi sanksi administratif kepada BFI Finance.

4. Mengajak media dan masyarakat mengawal kasus hingga tuntas.

Dukungan Publik

Ketua Umum Gajah Mada Mojokerto, Dedik Bima Gatot Kaca, ikut bersuara:

Praktik penagihan ala preman harus diberantas. Supremasi hukum di Mojokerto tidak boleh tunduk pada kekerasan. Kami mendukung penuh langkah hukum ELTS,” ujarnya.

Seruan Keadilan

Agus Sholahuddin mengingatkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 yang melarang eksekusi sepihak oleh perusahaan pembiayaan melalui debt collector.

Ini bukan sekadar masalah utang, tapi soal keselamatan warga dan tegaknya hukum. Masyarakat harus berani melawan penagihan barbar seperti ini,” tutup Agus.( Red )

Leave a Reply