Surabaya Gempar: Seruan Suara Rakyat Tertindas di Tengah Ketidakadilan Hukum

Oplus 2

Surabaya – Koran Merah Putih Kasus eksekusi rumah di Jalan Dr. Soetomo No. 55 Surabaya menciptakan gelombang keprihatinan di kalangan masyarakat dan menyoroti banyak tantangan serius dalam sistem hukum Indonesia, terutama dalam hal perlindungan hak asasi manusia. Situasi ini memicu pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai integritas dan keadilan dalam proses hukum, terutama ketika mafia tanah dan penyalahgunaan kekuasaan muncul sebagai faktor kunci.

Rumah yang menjadi pusat sengketa ini sebelumnya dimiliki oleh Laksamana Madya Soebroto Judono, yang memiliki dokumen kepemilikan yang sah. Namun, pasca kepergian mendiang, muncul berbagai klaim yang menunjukkan adanya praktik mafia tanah, yang berefek negatif terhadap pihak-pihak yang berhak atas properti tersebut. Gugatan yang diajukan oleh Rudianto Santoso kepada Tri Kumala Dewi, yang merupakan anak dari Laksamana Judono, ditolak oleh pengadilan hingga tingkat kasasi, memperdalam keraguan terhadap objektivitas dari proses peradilan.

Lebih memprihatinkan, kematian misterius Rudianto Santoso menambah lapisan kecurigaan akan adanya kolusi di balik kasus ini. Situasi ini semakin meyakinkan publik akan adanya sistem yang melindungi kepentingan tertentu dalam proses hukum.

Ketua DPD GRIB JAYA Jawa Timur, Akhmad Miftachul Ulum (Cak Ulum), memilih untuk tidak melawan eksekusi, menunjukkan sikap bijak dalam menghadapi proses hukum, namun hal ini juga mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap penegakan hukum yang ada. Pandangan tersebut senada dengan pernyataan Komnas HAM yang mencemaskan potensi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi akibat proses hukum yang cacat.

Kekaburan terkait keabsahan sertifikat hak atas rumah, serta kesalahan catatan dalam akta jual beli, seperti yang dikemukakan oleh Ninik Sutjiati, menunjukkan bahwa banyak faktor yang harus dipertanggungjawabkan dalam kasus ini.

Heru Satryo, sebagai Koordinator Maki Jatim, menegaskan bahwa situasi hukum yang kompleks ini melibatkan banyak instansi, sekaligus mencerminkan frustrasi masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi hak-hak mereka.

Di tengah konflik ini, dorongan masyarakat untuk melakukan evaluasi dan peninjauan kembali terhadap keputusan hukum melalui Mahkamah Agung serta Presiden semakin menguat. Semua ini bertujuan untuk memastikan bahwa keadilan tetap terjaga dan hak konstitusional dihormati.

Kejadian ini menjadi pengingat bahwa hukum harus lebih dari sekadar kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga tentang menciptakan keadilan dan transparansi. Dalam konteks yang begitu rumit dan penuh ketidakpastian ini, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: siapa yang akan bertanggung jawab, dan bagaimana keadilan dapat ditegakkan di tengah praktik mafia peradilan?

Masyarakat kini semakin terdorong untuk bersuara, menuntut keadilan, dan mengharapkan sistem hukum yang ada dapat menyelamatkan dan memberdayakan semua pihak tanpa kecuali, agar semua orang dapat merasakan keadilan yang sesungguhnya. (DN)

Leave a Reply