Rakyat Sanggrahan Menjerit: “tradisi” Kepala Desa Yang Menjadi Jerat Pungli — Program Prona Berubah Jadi Ladang Perasan Rakyat

Malang – Koran Merah Putih || Investigasi.
Dari balik sunyinya perbukitan Tirtoyudo, terdengar suara rakyat yang mulai kehilangan sabar. Di Desa Sanggrahan, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, program nasional PRONA (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) yang seharusnya menjadi jalan terang bagi rakyat kecil justru menjelma menjadi lorong gelap pemerasan terstruktur.
Program yang digagas pemerintah untuk membantu masyarakat miskin memperoleh sertifikat tanah dengan biaya murah kini telah berubah menjadi panggung bisnis kotor yang menindas dan menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah desa.
Fakta di lapangan menunjukkan, warga Desa Sanggrahan dipaksa membayar biaya sertifikat sebesar Rp600.000 ditambah biaya oper garap Rp2.000.000 per bidang tanah. Ironisnya, pembagian dana itu sangat mencengangkan, diantaranya Rp 1.000.000 disebut untuk pengurusan, Rp1.000.000 lagi menurut pengakuan warga “diserahkan untuk pihak desa”.
Padahal, berdasarkan informasi resmi yang diterima dari sumber di tingkat kecamatan, biaya oper garap yang sah dan sesuai ketentuan hanyalah Rp350.000.
Artinya, lebih dari Rp1.600.000 per warga diduga menguap tanpa dasar hukum, tanpa catatan, dan tanpa transparansi.
Tak satu pun warga yang menerima kwitansi pembayaran. Semua transaksi dilakukan secara tunai, tanpa bukti, tanpa pertanggungjawaban. Sebuah pola yang jelas mengindikasikan adanya pungutan liar yang disamarkan menjadi “biaya operasional”.
Ketika dikonfirmasi melalui aplikasi WhatsApp, Kepala Desa Agus menyampaikan pernyataan yang justru menambah bara kemarahan warga.
“Biaya prona yang didapat kepala desa itu sudah tradisi dari dulu sebelum saya menjabat.” Ujarnya
Pernyataan ini menjadi bukti bagaimana kata “tradisi” kini dijadikan tameng untuk membenarkan praktik kotor yang melukai hati rakyat. Tradisi seharusnya menjadi nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun ketika “tradisi” dipelintir menjadi justifikasi atas pungutan liar, maka tradisi itu telah mati digantikan oleh budaya kekuasaan yang rakus dan haus uang.
Seorang warga yang kami temui menuturkan dengan getir, “Kami ini cuma ingin tanah kami diakui negara. Tapi malah disuruh bayar mahal, tanpa kwitansi, tanpa penjelasan. Kalau tidak ikut bayar, katanya sertifikat tidak bisa keluar.”
Ketakutan kini menjadi alat kendali. Rakyat kecil di Sanggrahan hanya bisa diam, memendam kemarahan di bawah tekanan birokrasi desa yang berubah jadi penguasa absolut di atas penderitaan rakyatnya sendiri.
Apa yang terjadi di Sanggrahan bukan sekadar “kesalahan teknis” atau “ketidaktahuan masyarakat”. Ini adalah pelanggaran hukum yang nyata, berlapis, dan dilakukan secara sistematis.
Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), “Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran untuk dirinya sendiri, dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.”
Artinya, setiap rupiah yang diambil dari rakyat tanpa dasar hukum adalah tindak pidana korupsi. Tidak peduli apakah itu disebut “biaya tambahan”, “tradisi”, atau “uang operasional”, jika tak ada dasar hukum, maka itu pungli.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) juga menegaskan, “Setiap pungutan yang dilakukan oleh pejabat tanpa dasar hukum yang sah merupakan pungutan liar dan wajib ditindak sesuai ketentuan hukum.”
Permen ATR/BPN Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) (program penerus PRONA), “Biaya kegiatan PTSL dibebankan pada anggaran pemerintah. Masyarakat tidak dipungut biaya selain yang disepakati bersama untuk keperluan patok, materai, dan penggandaan berkas dengan batas maksimal Rp150.000 – Rp350.000.”
Dengan demikian, pungutan hingga Rp2 juta per bidang tanah yang terjadi di Sanggrahan jelas bertentangan dengan peraturan resmi BPN. PRONA seharusnya menjadi lambang kehadiran negara untuk rakyat kecil, agar mereka tak lagi dianggap “penggarap liar” di tanah sendiri. Namun, kenyataannya, di lapangan program ini justru menjelma menjadi alat penghisapan uang rakyat.
Program yang mestinya membebaskan mereka dari kerentanan hukum, justru menjerat mereka dalam utang, tekanan sosial, dan ketakutan. Istilah “oper garap” yang dipakai dalam transaksi ini hanyalah topeng birokrasi yang menyembunyikan fakta pahit, bahwa tanah rakyat telah dijadikan komoditas oleh oknum yang seharusnya melindungi mereka.
Masyarakat Sanggrahan kini menunggu tindakan nyata. Bukan janji manis, bukan kunjungan formal, tapi penegakan hukum yang konkret. Media Cakra Nusantara mendesak Polres Malang segera membentuk tim khusus untuk menelusuri aliran dana dalam program PRONA Desa Sanggrahan.
Inspektorat Kabupaten Malang turun ke lapangan melakukan audit keuangan menyeluruh terhadap kegiatan sertifikasi tanah di desa tersebut. Kejaksaan Negeri Kepanjen menindaklanjuti laporan masyarakat atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam program pemerintah.
Jika tidak, maka kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan mati pelan-pelan dibunuh oleh tangan pejabat yang seharusnya melindungi mereka.
Kata “tradisi” seolah menjadi mantra kebal bagi para penguasa lokal. Namun, di balik itu, rakyat tahu: yang disebut tradisi itu tak lain hanyalah sistem pungli yang diwariskan dari generasi ke generasi tanpa pernah dihentikan.
Dan kini, tradisi itu telah berubah menjadi kanibalisme sosial, di mana pejabat memangsa rakyatnya sendiri. Dari Sanggrahan, luka itu kini terbuka lebar: bahwa korupsi tidak hanya terjadi di gedung tinggi — tapi juga di balai desa.
Dasar Hukum yang Dilanggar :
1. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Perpres No. 87 Tahun 2016 tentang Satgas Saber Pungli.
3. Permen ATR/BPN No. 12 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
4. Surat Edaran Menteri ATR/BPN No. 1756/15.1/IV/2018 tentang batas biaya resmi PTSL.
5. Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.
6. Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
7. Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang.
PRONA bukanlah milik kepala desa. Itu adalah program negara untuk rakyat. Dan setiap rupiah yang diambil tanpa dasar hukum adalah pencurian dari keringat masyarakat.
Jika aparat hukum tak segera bergerak, maka pesan yang tertinggal di Desa Sanggrahan akan menjadi peringatan kelam, bahwa di negeri ini, hukum bisa dibeli, tapi keadilan rakyat tetap harus membayar mahal.
Media Koran Merah Putih, Tim Investigasi Nasional Malang Raya
“Menelusuri yang disembunyikan. Menuliskan yang tak berani diucapkan.”