Warga Keluhkan Jalan Rusak dan Bau Menyengat dari Kandang Ayam di Pagerjo Gedeg, Mojokerto

Mojokerto – KMP| Warga Desa Pagerjo, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, mengaku resah akibat bau menyengat yang diduga berasal dari limbah kotoran ayam di kandang milik seorang warga berinisial F, atau yang dikenal dengan nama Fajar.
Selain menimbulkan pencemaran udara, aktivitas usaha peternakan ayam tersebut juga diduga memperparah kondisi jalan desa. Jalan yang semula sudah rusak, kini semakin parah akibat lalu lalang kendaraan bermuatan pakan ternak (Pokpan) yang keluar masuk lokasi usahanya.

Saat tim media meninjau langsung ke lokasi, terlihat tumpukan kotoran ayam di sudut selatan area usaha yang cukup besar. Kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa pengelolaan limbah tidak sesuai aturan, bahkan dibiarkan terbuka sehingga menimbulkan bau menyengat di area sekitar, termasuk di dekat pemakaman desa.
Seorang warga berinisial S menuturkan, bau kotoran ayam sangat mengganggu aktivitas masyarakat.
“Bau kotoran ayam ini sangat menyengat di hidung, apalagi kalau saya mau ke sawah. Lokasinya dekat sekali dengan makam dan sangat mengganggu kenyamanan,” ujarnya.
Beberapa warga lain juga menambahkan bahwa selain bau, jalanan desa yang rusak parah membuat aktivitas mereka semakin terhambat.
Ketika dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, pemilik usaha ayam, Fajar, memberikan jawaban singkat.
“Saya rasa aman saja, tidak ada masalah. Mohon datang saja ke kami bila ada warga yang merasakan bau ayam menyengat ini,” tulisnya.
Namun, saat klarifikasi lebih lanjut, Fajar mengklaim bahwa dirinya sudah memberi kompensasi kepada warga berupa susu dan sembako.
Faktanya, setelah tim media menelusuri, kompensasi tersebut hanya diberikan kepada karyawan yang bekerja di peternakan milik Fajar, bukan untuk warga sekitar. Kendati demikian, hal itu dinilai belum menyelesaikan masalah. Bahkan setelah tim media melakukan komunikasi via WhatsApp (08133267xxxx), nomor tersebut justru memblokir kontak kami.
Warga menduga usaha peternakan ayam tersebut memiliki hubungan dengan keluarga oknum aparat penegak hukum (APH). Dugaan itu muncul karena meski sudah banyak keluhan terkait pencemaran udara dan kerusakan jalan, hingga kini belum ada tindakan tegas.
“Kami sempat berdialog, tapi tetap saja banyak pelanggaran soal pencemaran udara. Seolah tidak ada sanksi yang jelas,” kata salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Kepala Desa Pagerjo, Kusno, ketika dikonfirmasi, menyarankan agar warga atau media langsung menemui pemilik kandang ayam untuk meminta klarifikasi.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Mojokerto, Drs. Rahmat Suharyono, menyampaikan akan segera menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut.
“Saya akan cek ke lokasi dan berkoordinasi dengan Dinas Perizinan untuk bersama-sama melakukan penertiban terhadap usaha masyarakat, khususnya yang berdampak terhadap lingkungan hidup, baik yang sudah berizin maupun belum,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.
DLH menegaskan akan berkoordinasi dengan instansi terkait guna memastikan pengelolaan limbah dan kelengkapan perizinan usaha.
Temuan Tambahan di Lapangan: Penggunaan Elpiji Rumah Tangga untuk Usaha
Dalam penelusuran lebih lanjut, tim media dan LSM LPHM juga menemui Polek, orang kepercayaan sekaligus petugas keamanan lapangan di peternakan milik Fajar. Dari hasil klarifikasi, diketahui bahwa pengoperasian kegiatan peternakan di lapangan menggunakan tabung gas elpiji rumah tangga (subsidi 3 kg dan Bright Gas 12 kg) untuk keperluan usaha.
Penggunaan elpiji bersubsidi tersebut jelas tidak sesuai peruntukan, karena diperuntukkan bagi rumah tangga miskin, bukan untuk kegiatan usaha dengan omzet tinggi seperti peternakan ayam berskala besar.
Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa usaha milik Fajar tidak hanya mengabaikan dampak lingkungan dan kerusakan jalan, tetapi juga melanggar aturan penggunaan bahan bakar bersubsidi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 ayat (1) huruf e menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Jika terbukti melanggar, Pasal 98 ayat (1) menyatakan:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan hidup dipidana dengan penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.”
Dengan demikian, usaha peternakan ayam di Pagerjo dapat terancam sanksi pidana jika tidak segera memperbaiki tata kelola limbah dan mengurus izin lingkungan sesuai peraturan.
Warga Pagerjo berharap ada langkah nyata dari pemerintah desa, DLH, hingga aparat penegak hukum untuk menertibkan usaha peternakan ayam yang dianggap meresahkan ini.
“Jangan sampai hanya karena usaha pribadi, kepentingan warga banyak yang dirugikan. Kami minta segera ada tindakan nyata,” tegas salah satu warga.
Sebelum kasus ini dinaikkan ke tingkat provinsi, tim media dan LSM LPHM menyatakan akan segera menyurati secara resmi Kepala Desa Pagerjo dan DLH Mojokerto agar persoalan ini mendapat perhatian serius.
Jurnalis Johanes / Tim Tujuh

