Rabat Beton Sidodowo: Jalan Baru Menuju Maut, Uang Rakyat Masuk Kantong Oknum

Lamongan || Koran Merah Putih.com –
Bau amis dugaan korupsi pembangunan desa kembali menyelimuti Kabupaten Lamongan. Kali ini, aroma busuk itu menyeruak dari Desa Sidodowo, Kecamatan Modo. Proyek rabat beton yang seharusnya jadi kebanggaan warga, berubah menjadi monumen kebobrokan aparatur desa.
Baru seumur jagung, jalan itu sudah retak, pecah, dan menganga di berbagai titik. Beton yang seharusnya berdiri kokoh untuk melayani warga bertahun-tahun, luluh lantak hanya dalam hitungan hari. Ironisnya, dana yang dipakai bukan recehan, melainkan uang rakyat yang dikumpulkan dengan keringat, pajak, dan iuran pembangunan. Pertanyaannya: ke mana larinya uang rakyat?
Di balik proyek bobrok ini, ada fakta yang lebih mengerikan : papan proyek tidak pernah terpampang. Publik dipaksa buta. Tidak ada informasi sumber dana, tidak ada nilai anggaran, tidak ada nama kontraktor, bahkan tidak jelas siapa penanggung jawab pelaksana. Semua seperti diatur agar tertutup rapat, seakan-akan ada sesuatu yang sengaja disembunyikan.
Padahal, aturan negara tegas menyatakan bahwa papan proyek adalah wujud keterbukaan informasi publik. Hilangnya papan proyek bukan kesalahan teknis, melainkan indikasi manipulasi. Apakah dana dikorupsi? Apakah anggaran disunat habis-habisan? Publik hanya bisa menerka. Yang jelas, papan proyek yang raib adalah simbol transparansi yang dikubur hidup-hidup.
Saat awak media meninjau lapangan, kondisi jalan bikin merinding. Beton kasar, campuran tak merata, retakan menjalar seperti sarang laba-laba. Bahkan ada bagian yang bisa dikupas dengan tangan kosong. Warga menduga kuat material dikurangi. Semen ditakar irit, pasir kualitas rendah, air berlebihan. Alih-alih rabat beton, yang terlihat lebih mirip adonan tahu campur.
“Baru seminggu sudah pecah, besok-besok mungkin tinggal jadi debu. Kami ini rakyat kecil, sudah bayar pajak, tapi hasilnya hanya proyek murahan yang bikin ngeri lewat,” ujar seorang warga dengan nada getir.
Lebih sadis lagi, dugaan praktik “sunat anggaran” semakin mencuat. Dari alokasi ratusan juta rupiah, publik mencurigai sebagian besar lenyap di meja rapat, kantong pribadi, atau ‘jatah’ bagi kroni. Sisanya hanya cukup untuk membangun jalan ala kadarnya yang sekarang jadi bahan tertawaan sekaligus tangisan.
Camat Modo, Sutaji, memang mengaku sudah menegur Kepala Desa Sidodowo. Namun pernyataannya justru jadi bumerang.
“Sudah kita tegur kepala desanya untuk memasang banner dan melakukan perbaikan pengerjaan rabat beton. Pengerjaan itu juga belum dimonitoring, lagi pula masih ada masa perbaikan selama tiga bulan.” ucap sutaji
Pernyataan itu memperlihatkan dengan telanjang betapa sistem pengawasan yang hancur lebur. Proyek sudah selesai, dana sudah cair, jalan sudah rusak tapi seorang camat yang seharusnya menjadi pembina para kepala desa baru turun turun tangan. Padahal teguran seperti ini sama sekali tidak dapat memulihkan uang rakyat yang terlanjur raib.
Ini bukan sekadar proyek gagal. Ini menunjukkan bobroknya sistem pembinaan dan jika proyek rabat tersebut lolos dari monitoring, semuanya menunjukan betapa bejatnya mental – mental para pejabat yang terlibat dalam pembangunan rabat beton tersebut, panggung bobroknya birokrasi desa akan jelas dipertontonkan atas Teguran yang dinilai terlambat menunjukkan upaya menutupi luka yang bernanah dengan plester.
Integritas Aparatur Desa di Titik Nol terlihat pada Kualitas pembangunan amburadul, papan proyek yang sengaja dihilangkan dengan beraneka alasan untuk menutupi kebusukan, lemahnya pengawasan juga menambah luka semakin mengangah, dan jawaban normatif dari pejabat yang semua mengarah pada satu kesimpulan : integritas aparatur desa Sidodowo berada di titik nol.
Banyaknya Warga yang mulai muak menambah daftar hitam kepercayaan. Mereka mempertanyakan apakah pemerintah desa masih layak dipercaya jika perilakunya bermental maling. Bagaimana mungkin seorang kepala desa bisa menutup mata pada proyek asal jadi? Bagaimana bisa perangkat desa diam melihat uang rakyat dipermainkan? Ataukah mereka juga sebagai penikmat ? Banyaknya Pertanyaan mengerikan tersebut muncul satu persatu di tengah pergunjingan di lapisan masyarakat bawah bahkan salah satunya yang mencuat adalah apakah pemerintah desa bekerja untuk rakyatnya atau untuk perut sendiri?
Terancamnya warga terhadap Jalan Baru yang dibangun oleh Pemerintah Desa akan Jadi Kuburan Baru yang mengerikan dan yang lebih mengenaskan, proyek asal jadi ini bisa jadi ancaman keselamatan warga nantinya. Retakan di jalan rawan menyebabkan kecelakaan, apalagi saat musim hujan. Kendaraan roda dua bisa tergelincir, pejalan kaki bisa terperosok, anak-anak sekolah bisa celaka dan semuanya akibat keserakahan.
Seorang ibu pedagang yang tiap hari melintas dengan motor tua menjerit,
“Kalau sistem pembangunannya begini terus mending tidak usah dibangun, untuk apa pembangunan dilaksanakan jika hanya untuk memperkaya pejabat yang serakah, pembangunan jalan Seharusnya memudahkan para pengguna jalan bukan mempermudah tebalnya kantong pelaksana dan pengawas pembangunan jalan. Kami takut, tapi mau lewat jalan mana lagi?”
Inilah tragedi paling sadis yang terjadi pada proyek yang seharusnya membawa manfaat hidup, justru berpotensi besar menjemput maut nantinya.
Gelombang desakan warga kini membesar, Mereka tidak puas dengan teguran yang terlihat basa-basi. Mereka menuntut kepada Dinas PMD Lamongan segera turun tangan, Inspektorat Kabupaten juga dituntut untuk melakukan audit total dan Aparat penegak hukum juga harus mengusut tuntas aliran dana proyek tersebut.
Pembangunan yang Tidak cukup dengan perbaikan tambal sulam. Jika terbukti ada penyelewengan, Kepala Desa Sidodowo harus diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban hukum. Jangan sampai kasus ini hanya berhenti di meja administrasi.
“Kalau kasus ini dibiarkan, berarti pemerintah ikut melindungi maling anggaran desa,” kata seorang tokoh masyarakat dengan suara bergetar.
Potret Buram Pembangunan Desa Sidodowo bukan kasus tunggal. Di berbagai desa, proyek rabat beton, drainase, hingga balai desa sering menuai masalah yang sama, yakni papan proyek raib, kualitas amburadul, anggaran mencurigakan. Publik melihat ada pola sistematis: uang desa dijadikan ladang korupsi berjamaah.
Desa yang seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan, justru menjadi kuburan uang rakyat. Setiap proyek seolah hanya ritual formalitas, sementara kualitas dan kebermanfaatan hanyalah slogan kosong.
Kasus rabat beton Sidodowo bukan sekadar tentang jalan yang rusak. Ini adalah simbol pecahnya kepercayaan rakyat. Jalan retak hanyalah tanda lahiriah; yang lebih parah adalah moral aparatur desa yang hancur, integritas yang runtuh, dan sistem pengawasan yang mandul.
Jika instansi terkait hanya menutup mata, maka jelaslah sudah desa-desa di Lamongan sedang sakit parah. Korupsi Raja Raja kecil akan terus bertambah dan merajalela, merampok masa depan generasi, dan mengubur harapan rakyat miskin.
Warga Sidodowo kini menunggu keadilan. Pertanyaannya tinggal satu, apakah aparat berani menegakkan hukum, atau justru ikut jadi bagian dari permainan kotor ini?