Dugaan “Main Mata” di Balik Pemanggilan Proyek Pemeliharaan Pintu Air Pasuruan: Penegak Hukum Justru Diduga Ikut Bermain

Pasuruan || Koran Merah Putih.com – Sebuah papan proyek di Desa patuguran Kecamatan rejoso Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menjadi pemicu kontroversi besar setelah beberapa media online mengangkatnya. Proyek dengan judul Pemeliharaan Pintu Air di DAS Rejoso senilai Rp 194.216.700 yang didanai dari APBD Jawa Timur 2025 itu awalnya hanya menjadi sorotan publik terkait potensi pengurangan kualitas dan mutu pekerjaan. Namun, perkembangan kasus ini justru memunculkan dugaan permainan yang jauh lebih serius.
Langkah awal Polres Pasuruan melalui Unit Tipikor sempat menuai apresiasi publik karena memanggil pihak pengawas dan tim pelaksana kegiatan sebanyak dua kali, yakni pada 25 Juli 2025 dan 1 Agustus 2025. Pemanggilan ini dianggap sebagai bentuk pencegahan praktik korupsi di lapangan. Namun, rasa hormat publik berubah menjadi tanda tanya besar ketika keterangan dari salah satu pekerja proyek justru mengarah pada dugaan adanya “deal” di balik pintu kantor polisi.
Dalam sebuah voice note yang diterima awak media dalam bahasa Madura, seorang pekerja menyebut bahwa “Ye celok polres, Areh Jumat SE adek EN, langsung majer pas, Ngkok eyajek bik pengawas ah, Ngkok anuapah norok ah.”
Artinya: “Ya dipanggil polres hari Jumat lalu dan hari Jumat kemarin langsung bayar-bayar. Bahkan saya diajak sama pengawasnya, tapi saya tidak mau, buat apa saya ikut.”
Keterangan ini mengindikasikan bahwa dari pemanggilan yang dilakukan Unit Tipikor, bukan penyelidikan yang berjalan transparan, tetapi justru ada pertemuan yang berujung transaksi. Dugaan itu semakin kuat ketika pekerja lain, dalam bahasa Madura, mengatakan “Pengawasnya SE entar bik TPK EN du kaleh, langsung majer.”
Artinya: “Pengawasnya ke polres, pengawas sama TPK-nya dua kali langsung bayar.”
Jika benar pernyataan ini, maka publik layak menduga bahwa pemanggilan tersebut bukanlah untuk membongkar pelanggaran, melainkan untuk menutupinya dengan harga tertentu.
Lebih miris lagi, dalam voice note lainnya, terungkap pernyataan yang membuat hati publik teriris “Ye salah EN Ngkok ancen gebey pelajaran lah, angok majer 50 bedeh tamoi, engkok ancen salah jangan ulangi lagi, oh ngge Benyak Abik EN lah ngabik Mon 25.”
Artinya: “Memang saya salah, ini pelajaran buat saya. Mending kalau ada teman-teman tamu dikasih Rp50.000 daripada seperti ini. Tapi karena saya yang salah, saya diam saja, jangan diulangi lagi. Sudah banyak habisnya, ke polres saja sudah sekitar Rp25 juta.”
Pernyataan ini memunculkan dugaan sangat serius: ada uang puluhan juta rupiah yang mengalir ke pihak tertentu di kepolisian dalam proses ini. Jika benar, ini bukan sekadar penyimpangan prosedur—ini adalah indikasi penegak hukum yang bermain di kubangan yang seharusnya mereka bersihkan.
Proyek dengan nilai hampir Rp200 juta yang dilaksanakan oleh CV Putra Utama Perkasa ini dibiayai dari pajak rakyat Jawa Timur. Dengan waktu pelaksanaan 60 hari, proyek ini seharusnya dijalankan dengan transparansi, pengawasan ketat, dan akuntabilitas penuh. Setiap rupiah yang keluar adalah uang publik yang mestinya kembali dalam bentuk manfaat, bukan masuk kantong pihak-pihak yang memanfaatkan jabatan.
Namun, jika dugaan “setoran damai” ini benar, maka kerugian publik berlipat: kualitas pekerjaan terancam, anggaran bocor, dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum hancur.
Masyarakat Pasuruan kini menghadapi dilema: bagaimana bisa percaya pada lembaga penegak hukum jika oknum di dalamnya justru ikut dalam dugaan permainan kotor? Proses pemanggilan yang seharusnya menjadi jalan menuju transparansi justru berakhir di lorong gelap negosiasi.
Kasus ini menuntut perhatian serius dari Kapolda Jawa Timur dan bahkan Kapolri untuk memastikan bahwa penindakan tipikor tidak berubah menjadi “proyek tambahan” bagi oknum. Tanpa tindakan tegas, publik akan melihat bahwa hukum di Pasuruan tidak berdiri tegak, melainkan membungkuk di hadapan amplop teba
Kasus ini tidak hanya soal proyek pintu air, tetapi tentang air muka hukum itu sendiri. Jika aparat yang seharusnya menegakkan aturan justru diduga menjadi bagian dari masalah, maka yang kita hadapi bukan sekadar pelanggaran, tetapi pengkhianatan terhadap mandat rakyat.