Pendidikan dalam Cengkeraman Pungli: Ketika Kadindik Malang Bungkam, Ketidakadilan Dibiarkan Tumbuh

Malang || Koran Merah Putih.com –
Peristiwa ini seharusnya menjadi momen pembenahan, bukan pertunjukan saling tuding. Dugaan pemerasan yang terjadi di SMP Negeri 2 Turen, Kabupaten Malang, kembali menyayat nurani publik. Modusnya klasik namun tetap menyakitkan: pungutan berkedok sumbangan pendidikan, yang nilainya membebani orang tua siswa, dan dilaporkan dengan nada getir oleh media lokal hingga viral di jagat maya.
Dalam kerangka tugas dan tanggung jawabnya, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang berusaha mengonfirmasi berita tersebut langsung kepada wartawan dari biro Malang. Langkah ini seharusnya diapresiasi—karena konfirmasi adalah bentuk keberimbangan, bukan pembelaan. Namun, apa yang terjadi kemudian justru membuka borok sistem yang lebih dalam.
Pesan WhatsApp dari Kadindik Kecamatan Turen kepada atasannya berisi nada sinis dan menyudutkan: “Apakah pendidikan di Kabupaten atau Kota sudah gratis semua?” Sebuah kalimat yang pada permukaannya seolah mempertanyakan logika kebijakan, namun pada hakikatnya adalah bentuk perlawanan terhadap otoritas, refleksi dari sistem yang tidak solid, serta gambaran arogansi struktural yang menggerogoti dunia pendidikan dari dalam.
Respons seperti ini tidak hanya melecehkan upaya klarifikasi, tetapi juga menunjukkan bahwa praktik pungutan liar telah menjadi bagian dari “keseharian” dalam sistem pendidikan kita. Ketika bawahannya lebih sibuk membela institusi dan mencari pembenaran dibanding melakukan introspeksi dan investigasi, publik patut bertanya: Apakah kepemimpinan di Dinas Pendidikan Malang benar-benar punya kemauan untuk berubah?
Yang lebih menyakitkan lagi, Suwadji, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, justru merespons polemik ini dengan kalimat formalitas: “Silakan orang tua siswa yang merasa dipungut secara tidak wajar untuk melapor.”
Pernyataan ini terdengar normatif, bahkan klise. Namun, ia sekaligus menunjukkan sikap lepas tangan dari problem nyata di lapangan.
Apakah Suwadji sadar bahwa imbauan untuk “melapor” itu justru berbahaya?
Apakah para orang tua yang melapor akan dijamin keamanannya?
Apakah siswa-siswi mereka tidak akan mendapat perlakuan diskriminatif atau balasan secara halus dari pihak sekolah?
Apakah sanggahan bahwa “pungutan itu sukarela” tidak akan digunakan sebagai tameng untuk menekan kembali para pelapor?
Dalam kenyataannya, pelaporan semacam itu jarang efektif dan sering berujung pada intimidasi diam-diam, baik terhadap orang tua maupun anak didik. Masyarakat bawah sangat memahami risiko bersuara, apalagi terhadap institusi yang berkuasa dan saling melindungi. Maka pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa Suwadji tidak bertindak proaktif? Mengapa tidak ada audit, teguran langsung, atau bahkan pencopotan kepala sekolah jika memang ada praktik pelanggaran?
Di sinilah kita menyaksikan kegagalan moral dan struktural dalam sistem pendidikan kita.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang bersih, adil, dan inklusif. Namun nyatanya, ia telah disusupi oleh praktik transaksional, kebusukan birokrasi, dan kepemimpinan yang lebih sibuk menyelamatkan muka daripada menyelamatkan generasi.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa akar masalah bukan hanya pada sekolah yang diduga memeras, tetapi pada tumpulnya keberanian pejabat tertinggi untuk menindak, serta budaya diam dan saling lindung yang menyelimuti dunia pendidikan Kabupaten Malang.
Jika Suwadji tidak segera membersihkan institusinya dari para pembela pungli, maka dia akan tercatat dalam sejarah sebagai Kadindik yang gagal membela hak siswa dan menyerahkan nasib pendidikan kepada arogansi struktur bawahannya.