Pendidikan Gratis di Atas Kertas, Pemerasan Nyata di Lapangan: Potret Buram SMK Negeri 2 Kota Blitar

Images (39)

Blitar || Koran Merah Putih.com –

Dunia pendidikan di Indonesia kembali dipermalukan. SMK Negeri 2 Kota Blitar yang seharusnya menjadi institusi pendidikan negeri, diduga kuat melakukan praktik pungutan liar yang mencoreng wajah pendidikan itu sendiri. Orang tua siswa dipaksa membayar Rp 3.000.000 untuk biaya uang gedung, seolah sekolah negeri bukan lagi milik publik, tetapi milik segelintir oknum yang menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis pribadi.

Tidak berhenti di situ, siswa pun diwajibkan membeli buku Lembar Kerja Siswa (LKS) seharga Rp 25.000 per mata pelajaran. Ini bukan sekadar tambahan biaya kecil, tetapi bentuk pemaksaan yang menabrak aturan, karena pembelian LKS seharusnya tidak boleh diwajibkan. Namun, di SMK Negeri 2 Kota Blitar, kewajiban itu ditegakkan tanpa peduli apakah siswa mampu atau tidak.

Yang lebih menyedihkan, ijazah siswa ditahan jika mereka belum melunasi pungutan. Penahanan ijazah—hak dasar siswa—adalah bentuk hukuman yang kejam dan memalukan. Ijazah adalah dokumen negara, bukan properti sekolah yang bisa dijadikan alat tekan. Penahanan ijazah adalah bentuk pemerasan paling vulgar yang jelas-jelas melanggar hukum dan etika pendidikan.

Ketika wartawan mencoba menggali kebenaran, Kepala Sekolah Zain Asrori malah memilih berlindung di balik alasan “sedang rapat”. Namun, setelah rapat selesai, ia tetap menolak memberikan penjelasan. Wartawan diarahkan ke humas sekolah, Tri Winarti, yang justru menyatakan dirinya “tidak bisa menjelaskan apa-apa karena masih baru”.

Jawaban ini menunjukkan betapa tertutup dan tidak profesionalnya pihak sekolah dalam menghadapi pertanyaan publik. Ketika tuduhan pungutan liar bergulir, alih-alih memberikan transparansi, mereka justru memilih bungkam dan melempar persoalan ke pejabat baru yang jelas tidak memahami kasus. Ini bukan hanya penghindaran, tetapi penghinaan terhadap prinsip akuntabilitas publik.

Pertanyaannya sederhana: apakah pendidikan di SMK Negeri 2 Kota Blitar bertujuan mencerdaskan, atau memeras? Jika pungutan ilegal dan penahanan ijazah dianggap wajar, maka pendidikan di sana bukan lagi sarana pembangunan bangsa, melainkan mesin pemerasan yang menginjak hak-hak siswa.

Di mana peran Dinas Pendidikan? Mengapa praktik seperti ini dibiarkan terus terjadi? Dan mengapa seorang kepala sekolah negeri bisa dengan mudah menghindar tanpa konsekuensi? Ketika pendidikan menjadi komoditas, maka keadilan sosial hanyalah retorika basi

Kasus ini adalah tamparan keras untuk pemerintah yang kerap membanggakan pendidikan gratis. Gratis di atas kertas, tapi di lapangan, orang tua dipaksa membayar jutaan rupiah dan membeli buku wajib yang tidak wajib. Pendidikan yang seharusnya membebaskan justru menjadi jerat utang bagi keluarga yang tidak mampu.

SMK Negeri 2 Kota Blitar telah memberi contoh buruk bagi dunia pendidikan: tutup mulut, pungutan ilegal, dan penghukuman terhadap siswa miskin. Pemerintah pusat, Ombudsman, dan aparat penegak hukum harus turun tangan, karena jika tidak, praktik kotor semacam ini akan terus menggerogoti pendidikan kita dari dalam.

Leave a Reply