Potret Buram Pelaksanaan PTSL di Desa Dawuhan, Kecamatan Purwoasri

Picsart 25 07 24 21 59 00 356

Kediri|| koran merah putih.com –

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digagas pemerintah pusat sejatinya bertujuan mulia: memberikan kepastian hukum bagi masyarakat atas kepemilikan tanah, dengan biaya yang terjangkau sesuai dengan ketentuan resmi yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri. Namun, pelaksanaan PTSL di Desa Dawuhan, Kecamatan Purwoasri, justru menampilkan wajah buram yang bertolak belakang dengan semangat program nasional ini.

Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas), yang seharusnya menjadi ujung tombak sosialisasi, fasilitasi, dan pendampingan warga dalam program PTSL, justru menunjukkan ketidakpahaman yang serius terhadap regulasi hukum yang mengikat program tersebut. Dalam penelusuran dan konfirmasi yang dilakukan langsung oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat LSM Gempar, ditemukan fakta mengejutkan: Ketua Pokmas menghimbau warga peserta PTSL agar mencari tahu sendiri besaran biaya kepengurusan sertifikat tanah kepada desa tetangga, bukannya memberikan informasi resmi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Keterangan yang disampaikan Ketua Pokmas menunjukkan bahwa pengelolaan program PTSL di Desa Dawuhan hanya berlandaskan “kesepakatan demi kesepakatan” internal yang dibuat tanpa dasar hukum yang jelas. Ironisnya, masyarakat tidak diberi pilihan ataupun sosialisasi yang transparan mengenai kewajiban biaya yang seharusnya mengacu kepada ketentuan SKB 3 Menteri. Hal ini jelas menimbulkan kebingungan di tengah warga, dan berpotensi membuka celah praktik pungutan liar yang mencederai prinsip dasar PTSL: murah, cepat, dan pasti.

Ketua DPP LSM Gempar, yang melakukan klarifikasi lapangan, menyatakan dengan tegas bahwa praktik seperti ini mencoreng marwah program strategis pemerintah. “Warga yang seharusnya dilayani justru dibuat bingung dengan biaya yang tidak jelas. Ini tanda lemahnya kapasitas dan pemahaman regulasi dari Pokmas, sekaligus berpotensi merugikan hak masyarakat,” tegasnya.

Kasus di Desa Dawuhan ini menjadi contoh buruk betapa lemahnya pengawasan dan minimnya sosialisasi yang efektif dari pihak pelaksana. Padahal, regulasi terkait PTSL sudah sangat jelas: biaya hanya boleh dipungut sesuai ketentuan resmi yang telah ditetapkan, dan masyarakat wajib diberi pemahaman mengenai hak serta kewajiban mereka dalam program ini.

Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa tindakan korektif, bukan hanya kepercayaan publik terhadap program PTSL yang akan runtuh, tetapi juga dapat menimbulkan sengketa sosial yang lebih luas. Untuk itu, LSM Gempar mendesak pemerintah daerah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta aparat pengawas terkait untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan PTSL di Desa Dawuhan, memastikan biaya yang dipungut sesuai dengan ketentuan, dan memberikan pembinaan serius kepada Pokmas agar memahami peran serta tanggung jawabnya secara utuh.

Program PTSL adalah instrumen penting untuk memberikan kepastian hukum atas tanah rakyat. Jangan sampai, karena kelalaian dan ketidaktahuan, program ini berubah menjadi beban bagi masyarakat yang justru seharusnya dilindungi dan dilayani.

Leave a Reply