Merampok Rakyat dari Selang SPBU: Jejak Hitam Nurcholis dan Sindikat BBM Subsidi

Lumajang || Koran Merah Putih.com –
Sebuah praktik kriminal kelas berat tengah berurat akar di wilayah Lumajang, Jawa Timur. Di balik kelangkaan solar subsidi yang menghimpit para petani, nelayan, dan sopir angkutan umum, tersembunyi jaringan mafia BBM yang terstruktur, sistematis, dan masif. Pusat dari sindikat ini mengarah kuat pada satu nama, Nurcholis.
SPBU Kedungjajang, yang terletak di Jalan Raya Kedungjajang No. 28, Lumajang, bukan sekadar tempat pengisian bahan bakar. Di balik selang-selang nozzle dan deru mesin kendaraan, terjadi praktik pengambilan BBM subsidi secara ilegal yang dilakukan secara terang-terangan, nyaris tanpa rasa takut.
Sumber internal dan penelusuran lapangan mengungkap pola operasional yang brutal, kendaraan-kendaraan modifikasi datang secara bergiliran, mengisi berkali-kali dengan tangki siluman, lalu didistribusikan ke gudang-gudang penampungan gelap. Semua itu terjadi dengan kelancaran yang mencurigakan, terlalu rapi untuk disebut kebetulan.
Nurcholis, nama yang disebut-sebut sebagai otak dari operasi ini, diduga menjadi koordinator sekaligus pengendali distribusi ilegal tersebut. Ia bukan pemain baru dalam dunia hitam BBM. Jaringannya terhubung dengan sejumlah oknum sopir, pengepul, dan bahkan diduga ada keterlibatan aparat yang membekingi, menciptakan sistem yang kebal hukum dan sulit disentuh.
Praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah aksi perampokan terhadap hak rakyat kecil. BBM subsidi dibeli dengan uang negara, dari keringat rakyat, untuk membantu masyarakat miskin menjalankan kehidupan mereka. Namun, oleh mafia seperti Nurcholis dan jaringannya, subsidi itu dijarah, dijual kembali di pasar industri dengan harga lebih mahal, menguntungkan segelintir pelaku, menghancurkan kehidupan banyak orang.
Setiap liter solar subsidi yang dicuri adalah jatah traktor petani yang tak bisa beroperasi. Adalah bahan bakar perahu nelayan yang gagal melaut. Adalah darah kehidupan bagi sopir truk kecil yang kini terpaksa antre berjam-jam, pulang dengan tangan hampa. Mafia solar bukan sekadar kriminal ekonomi, mereka adalah penjagal harapan rakyat.
Dari sisi hukum, praktik ilegal ini berpotensi dijerat dengan sejumlah pasal berat, di antaranya,
Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM subsidi tanpa izin usaha terancam pidana 6 tahun penjara dan denda Rp60 miliar.
Pasal 480 KUHP tentang Penadahan.
Pasal 55 dan 56 KUHP bagi pihak-pihak yang turut serta, membantu, atau menyuruh melakukan tindak kejahatan.
Namun ironis, penegakan hukum kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Penyalur kecil atau sopir biasa bisa digerebek dan dipajang sebagai kambing hitam, sementara aktor intelektual seperti Nurcholis tetap melenggang, menikmati hasil jarahan dari darah rakyat.
Dalam sudut pandang nurani, lebih terhormat seorang pencopet kelaparan di pasar daripada mafia solar yang berjas rapi namun menyedot jatah hidup orang banyak. Mereka bukan sekadar maling, mereka adalah pengkhianat bangsa yang menukar kepentingan rakyat dengan rupiah haram.
Bangsa ini tak akan benar jika kejahatan seperti ini dibiarkan terus berlangsung. Saat solar makin langka dan harga kebutuhan meroket, saat petani menjerit dan nelayan menepi, ingatlah bahwa musuh mereka bukan hanya ekonomi, tapi juga mafia solar yang mencuri hak mereka setiap hari.
Jika negara ingin benar-benar berpihak pada rakyat, inilah saatnya menyisir habis praktik-praktik terkutuk ini. Tangkap Nurcholis. Bongkar jaringannya. Libas semua yang terlibat. Karena di balik jeriken solar ilegal itu, ada masa depan bangsa yang sedang dijarah hidup-hidup.